Pages

Subscribe:

Senin, 19 September 2011

Misi Yang Dialogis

Share
MISI YANG DIALOGIS
Berbicara mengenai Misi yang dialogis, maka berbagai para Teolog akan menawarkan berbagai macam pendapatnya. Karena dialog agama-agama merupakan isu yang hangat maka banyak tawaran untuk bagaimana membangun suatu misi yang dialogis.
Mendifinisikan misi gereja sebagai dialog, tidak mereduksikan misi tersebut pada suatu tindakan partikular, tetapi justru memperluas misi tersebut melampaui aktivitas dan praktek tradisional dan lebih menyeimbangkan aspek misi. Memandang dan menjalankan misi sebagai dialog berarti memandang misi Gereja sebagai suatu bentuk hakiki dari komunikasi. Untuk itu, Knitter coba melihat Misi Kristen tersebut harus berpusat pada Kerajaan Allah, yang mana semua agama-agama merupakan pelaku dari Kerajaan Allah.


Ada beberapa Perpektif Dasar Dari Misi Yang Dialogis
Perspektif pertama yang dibutuhkan adalah menerima eksistensi agama-agama yang lain dengan penuh kerelaan. Kedua dialog sejati harus mempradugakan komitmen. Ia tidak menyampingkan posisi seseorang. Dialog berarti menyaksikan keyakinan-keyakinan kita yang terdalam namun di samping itu juga kita mendengarkan kesaksian-kesaksian dari orang lain. Ketiga, dialog harus dimulai dengan penuh harapan bahwa kita pergi untuk menjumpai Allah yang telah mendahului kita dn yang telah mempersiapkan orang-orang di dalam konteks budaya, maupun keyakinan mereka. Kita menghampiri mereka karena kita semua penerima dari belas kasih yang sama, yang sama-sama juga berbagi dalam misteri yang sama. Untuk itu tempat (agama-agama lain) yang kita hampiri itu kudus. Keempat, dialog dan misi dapat dilaksankan hanya di dalam sikap kerendahan hati. Dari perspektif yang keempat ini, ada pelajaran yang penting bagi Gereja yang harus mengutamakan Misi yang dialogis.

Misi Yang Dialogis Yang Dilaksanakan Dengan Kerendahan Hati
Hal yang sangat penting dari bagian ini adalah Dialog maupun misi harus menampakkan dirinya pada perjumpaan antar hati daripada antar otak.
Bagi gereja hal ini seharusnya merupakan sesuatu yang mendasar karena : iman Kristen yang adalah kasih karunia yang diterima pada salib. Karena itu, sesuatu yang mendasar bagi gereja Kristen adalah kerendahan hati dihadapan agama-agama lain. Namun kita perlu memberikan batasan. Maksud kerendahan hati bukanlah untuk tenggelam dalam manipulasi orang lain karena itu kita menerima dan meyakini suatu posisi yang tidak begitu Kristen.
Kerendahan hati berarti memperlihatkan rasa hormat kepada leluhur kita di dalam iman, atas apa yang telah mereka teruskan kepada kita.dengan sikap tersebut, kita dituntut untuk bersikap hormat dan menghargai agama-agama lain. Namun kita akan menipu diri sendiri apabila kita percaya bahwa dapat bersikap hormat terhadap agama lain padahal kita menghina agama kita sendiri.

Misi Yang Mengakui Setiap Agama Dengan Dunianya Sendiri
Gereja dalam Dialog maupun misinya harus mengakui bahwa agama-agama mempunyai dunianya sendiri, dengan pusat dan strukur mereka sendiri. Ini berarti bahwa injil Kristen berhubungan dengan cara yang berbeda dengan islam dibandingkan dengan hindu, budha dan agama lainnya. Untuk itu, agama lain tidak bisa dipandang sebagai pelengkap agama Kristen seperti yang dikatakan Rahner tentang orang Kristen anonim. Seperti yang dikatakan oleh Knitter dan Hick keberadaan agama-agama di dunia harus saling melengkapi daripada saling membangkang. Kecocokan dari berbagai agama adalah sebuah konstruksi yang sepenuhnya rasionalistis, hal ini tergambar dalam gagasan Knitter “teosentris’ yang bersifat normatif yang didasarkan pada dasar yang sama dari pengalaman religious bersama. Untuk itu gagasan tentang teosentrisme harus ditinggalkan dan memilih “soteorisentrisme” sebagai suatu locus bersama pengalaman keagamaan. 

Misi Sebagai Suatu Kesatuan Dari Dialog
Misi dan dialog tidak boleh dipandang saling berlawanan apalagi dengan menyatakan bahwa agar dialog dapat “masuk” maka misi harus “keluar” atau dengan kata lain komitmen pada dialog tidak sesuai dengan komitmen pada penginjilan atau misi.
Kesesuaian antara dialog dan misi sangat mencolok. Keduanya dalam perkembangan zaman telah menunjukkan suatu pergeseran pemikiran dari tidak toleran menjadi toleran (Hanz Kung, Paradigm Change in Theology. ( New York: Crossroad, 1989), HLM. 20-24).  Baik dialog maupun misi tidak berjalan melalui jalan yang sama. Keduanya tidak pula terlalu bersifat dogmatis atau merasa benar sendiri. Dalam kedua hal ini, komitmen iman (misi) berjalan berdampingan dengan rasa hormat kepada orang lain (dialog). Namun, perbedaan-perbedaan antar dialog dan misi sama-sama mendasar. Hal ini Nampak bagi Knitter (Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama.(Jakarta: BPK Gunung Mulia) Hlm 222)
 yang menyatakan bahwa tujuan misi telah tercapai ketika pemberitaan injil telah mengubah orang Kristen menjadi orang Kristen yang lebih baik dan orang Budhis menjadi orang Budhis yang lebih baik. Hal ini tentu menggambarkan salah satu dari tujuan dialog tetapi jelas bukan dari tujuan misi.  Bagi Bosch kekristenan sekarang ini telah menemukan kembali sifatnya yang dialogis namun penemuan ini tidak boleh mengorbankan sifatnya yang pada dasarnya adalah minisioner.

PERANAN GEREJA DALAM BERDIALOG SEBAGAI BENTUK PELAKSANAAN MISI
Dialog bukanlah suatu bentuk yang mulai mengaburkan pemahaman misi, malah dialog menegaskan kerangka kerja bagi pembentangan misi gereja. Atau dialog merupakan metafora bagi perubahan khusus dalam konsep misi gereja yang konkrit. Untuk itu, misi dan dialog sangatlah berkaitan. Dalam perkembangannya, terutama umat Kristen, terjadi perubahan orientasi misi yang berpusat pada gereja kepada misi yang berpusat pada dunia, di mana kerajaan Allah memiliki pengertian yang luas. Kerajaan Allah tidak lagi dapat diidentikan dengan gereja Kristen. Kerajaan Allah merupakan suatu realitas yang luas dari Gereja. Hal ini mengacu pada dokumen vatikan Redumtoris Mission dan Dialog dan Proklamasi disebutkan secara jelas posisi Gereja sebagai subordinate dari kerajaan Allah. Ditegaskan dalam kedua dokumen itu bahwa Gereja merupakan hamba Kerajaan Allah yang  luas dan lebih penting.
Mengacu pada dokumen-dokumen gereja dan perubahan pemikiran terkait dengan pemahaman eklesiologis yang luas di kalangan umat Kristen, dapat disebutkan bahwa misi Kristen atau gereja sekarang ini bukanlah misi bagi penambahan anggota kongregasi baru atau misi yang ekspansif tetapi misi yang menjawab realitas penderitaan, keterbelakangan, ketidakadilan, kehancuran ekologi, kesetaraan laki-laki dan permpuan, dll. Atau dengan kata lain, misi yang mengarah kepada peningkatan harkat dan martabat manusia dan kualitas hidupnya dengan tetap mempertahankan keutuhan lingkungan. Bukankah Hal ini juga diajarkan dalam kekristenan?dengan demikian, Dialog adalah suatu bentuk misi dan misi tersebut harus benar-benar dialogis.
Sebagai orang Kristen, tanggung jawab gereja adalah melakukan dialog sebagai bentuk dari misi kekeristenan kita, namun jangan sampai kita menjadi relatif apalagi sekular. Pekerjaan Misi dalam bentuk dialog jangan hanya menjadi suatu konferensi, perjumpaan ilmiah dan ritual yang secara tidak sadar digunakan oleh petinggi-petinggi agama untuk menghindari kenyataan-kenyataan yang mendasar yang lainnya seperti, kemiskinan, ketidakadilan maupun pemerasan dll. Dialog sebaiknya bukan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh sekelompok kecil di ujung puncak gunung oleh pakar dan mistikus agama yang suci saja, sementara kelompok besar dibiarkan berada di lembah untuk berdialog dengan kelaparan, penyakit, dan hal yang lainnya. Untuk itu, baik Aloysius Pieris maupun Paul Knitter sama-sama menegaskan bahwa dialog antaragama yang tidak muncul dari pengalaman penderitaan manusia, dan tidak menggali pesan semua agama yang membebaskan, yang terkait erat dengan dunia ini, merupakan pelanggaran terhadap hakikat agama yang sebenaranya dan dialog antar agama itu sendiri (Alysious Pieris).

Baca juga yang lain



0 komentar:

Posting Komentar

Hai Sobat, Jangan Lupa komentar yah.