Pages

Subscribe:

Jumat, 02 September 2011

Masohi: Masih Perlukah? (Mari Damaikan Porto-Haria dari Konflik yang Berkepanjangan)

Share  
Masohi: Masih Perlukah?
(Mari Damaikan Porto-Haria dari Konflik yang Berkepanjangan)

(Kali ini saya menulis tulisan yang mungkin memerlukan penjelasan yang begitu jelasnya, sehingga akan berbeda dengan postingan saya yang sebelumnya yang terkesan padat, dan rapih. Walau saya tau menulis opini saya terhadap masalah ini merupakan suatu ide yang gila, namun selagi masih bisa dipertanggungjawabkan, maka saya akan menulis dan memperjuangkannya. Namun saya akan menyebut tulisan ini gila.)

Sejarah kelam perkelahian antara kampung/negeri bertetangga sudah menjadi cerita turun-temurun di suatu tempat terutama di daerah di mana saya tinggal yaitu Porto dengan  Haria (Saparua, Maluku Tengah). Sampai tulisan ini di Posting, masyarakat dari kedua desa masih ada dalam keadaan tegang dan suasana yang kurang kondusif. Langsung saja ke inti permasalahannya yang sangat kompleks dan rumit, perjalanan perkelahian antar Negeri Haria dan Porto telah memakan korban, bahkan ada yang meninggal, rumah-rumah hancur, bahkan tempat ibadah, sekolah, ikut hancur juga.
Konflik yang semakin parah adalah konflik yang terjadi pada Tahun ini. Hanya bermula dari persoalan yang sepeleh yaitu: perkelahian antara anak sekolah. Di mana terjadi pemukulan terhadap salah satu siswa yang berasal dari Haria oleh Siswa yang berasal dari Porto. Perkelahian itu merambat menjadi perkelahian antar dua negeri tersebut setelah ada masyarakat yang sudah mulai bergerak dengan  cara memukuli anak-anak sekolah yang berasal dari Negeri Porto dan Membakar 7 Buah Sepeda Motor.
Mari Kita lihat, akar dari masalah ini yang berujung sampai sekarang dan terbawa-bawa hingga perebutan sumber air minum.
Tidak bisa dipungkiri bahwa daerah ini adalah bekas konflik sehingga dalam proses penyelesaian akan berujung pada “dendam” yang siap meledak kapan saja walaupun sudah terlihat damai. Dendam tersimpan akan menunggu momen yang tepat untuk dia meledak. Namun saya akan Tertawa jika seseorang akan mengatakan kepada saya, bahwa dendam tersebut meledak begitu saja, jika tidak ada faktor pemicu, maka ia akan tersimpan, siapa faktor itu,? Sulit untuk menjawabnya, mungkin satu orang, sekelompok orang, dengan maksud dan kepentingan tertentu. Namun apakah itu cukup untuk memicu kembali Konflik yang berkepanjagan ini?? Saya bilang: Tidak!
Alasan lain kedua kampung/negeri yang manis e ini bentrok menurut saya adalah bolongnya tatanan hidup kita. (mohon maaf jika saya sedikit kasar). Ya, saya merasa tatanan hidup sebagai Orang Porto Maupun Haria mempunyai Bolong-bolong yang bisa merusak keharmonisan kedua negeri tersebut.  Kita mengenal sikap hidup yang saling tolong menolong, sama-sama memikul beban, kita sangat mengakar pada tanah sehingga sulit mengalami ketercabutan, dan ketercabutan dari tanah kita adalah penghinaan luar biasa. Kita adalah orang-orang yang komunal, sehingga tidak bisa berada jika tidak ada dalam suatu komunitas. Inilah yang orang Maluku Tengah sering sebut sebagai Masohi.

Saya akan membagi tulisan ini kedalam bagian beberapa bagian penting yang merupaka pendapat saya yang menjadi solusi.
1.          Kita mempunyai tatanan hidup berdasarkan budaya kita yang kuat, namun itulah senjata untuk melumpuhkan kita sendiri. Kita akan sulit membedakan mana urusan pribadi dengan mana urusan komunitas. Ketika seorang dipukul, orang lain dari komunitasnya akan merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menghina komunitasnya. Tapi apakah hal ini bisa dibenarkan? Tentunya tidak, kita memang masyarakat adat, namun dalam posisi yang mana, saat urusan pribadi seseorang dijadikan urusan komunal,, memang sekali lagi kita tak akan berada (exist) jika tidak dalam komunitas, tapi itu urusan perkelahian antar pribadi, apakah tidak bisa diselesaikan saja secara pribadi? Saya masih mengingat ada seorang yang berkomentar pada situs jejaring sosial bahwa yang paling Bia*** adalah orang yang menjadi Provokator, tapi yang lebih Bia*** adalah orang yang mengambil tindakan anarkis setelah diprovokasi.
Apakah ini Individualisme? Pasti semua akan bertanya demikian. Dengan mengusulkan hal ini saya tidak hendak memperjuangkan Individualisme, walau tidak ada yang salah dengan kata tersebut. Namun, jika hendak memperjuangkan nilai-nilai Individu yang lebih tinggi di antara Kolektivitas maka rusaklah tatanan adat budaya kita. Tapi jika kita sadar akan nilai Individual sebagai manusia, maka kita akan mengetahui batasan-batasan apa saja dalam menjadi suatu kesatuan kolektivitas sehingga masalah pribadi tidak menjadi masalah komunitas.

2.          Apa yang saya sampaikan di atas tentunya bukan menjadi jawaban dari konflik tersebut, namun itu menjadi akar, agar tidak menjadi konflik yang berikutnya yang berawal dari masalah pribadi ke masalah komunitas. Lantas, menurut saya, usaha yang saya sampaikan merupakan jangka berkala yang harus terus dilakukan, setelah usaha jangka pendek untuk menangani konflik yang sementara terjadi, usaha tersebut antara lain,
Moderasikan Pemuka masyarakat sehingga mereka mengambil inisiatif sendiri, untuk melakukan dialog secara bersama. Untuk itu, sebelum mempertemukan pemuka masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sang moderator lah yang harus mendudukan masyarakat dan pemuka agama masyarakat setempat tersebut dan mebicarakan perdamaian yang akan terjadi. Hal ini memang sulit, karena kita akan mempertimbangkan kondisi psikologi para masyarakat di satu pihak. Namun, menurut saya, marilah kita mulai penyelesian konflik dari bawah, kita benar-benar menguatkan masyarakat baru kita masuk kepada tindak lanjut antar pemuka agama. Saya sangat menyayangkan jika penyelesaian yang terjadi adalah bersifat Top-Bottom, percaya atau tidak para pemuka masyarakat yang melakukan moderasi, adalah orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Jika kita mulai dari “Atas” maka dengan mudahnya mereka mempengaruhi masyarakat. Untuk itu menurut saya, masyarakt harus mempunyai kewajiban untuk melapor sang provokator yang tidak menginginka perdamaian sekalipun itu pemuka masyarakat.

3.          Sekali lagi, konflik itu belum bisa terselesaikan. Karena ada hal-hal yang bisa menjadi pemicu konflik yang lain. Misalnya perebutan air minum. Menurut saya, persoalan Sumber Air Minum (Air Raja) dapat diselesaikan dengan kepala dingin jika kedua hal di atas berjalan dengan baik. Di sini adat budaya kita bermain penting, terutama para pemuka adat. Bila perlu kita melakukan rekonstruksi sejarah dengan kepala dingin. Rekonstruksi yang dilakukan sekali lagi jangan dianggap sebagai pembuktian ini, itu, Melainkan sebagai “Penghargaan”.



Kesimpulan.
Menurut saya, masih banyak yang harus dikerjakan oleh kedua Negeri bertetangga ini. Kita masih jauh dari kemajuan dibandingkan dengan daerah lain. Saparua 10 tahun yang lalu, masih sama dengan saparua sekarang. Kita harus mempunyai fokus pembangunan kehidupan yang lebih baik. Bukankah konflik ini juga disebabkan karena kita kurang kerjaan (dalam artian; banyak pengangguran yang berkeliaran begitu saja yang tidak mempunyai kerja yang jelas, sehingga rentan terhadap konflik).
Masohi, sangat diperlukan! Tapi bukan untuk saling membantu berperang dengan negeri tetangga!!!!! Masohi diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih baik, bukan untuk merusaknya. Mengapa harus kita saling bermusuhan antar Negeri Tetangga??? Mengapa kita tidak memusuhi bahkan memukuli orang yang menindas Negeri kita sehingga Saparua menjadi begitu terkebelakang? Mengapa kita tidak bersama-sama merusak sistem yang menindas Porto dan Haria, pada umumnya Saparua. Marilah Saudara, kita berperang, tapi berperang melawan sistem yang menindas termasuk orang-orang besar yang selama ini membutakan kita, Kita sama-sama Masohi bangun Negeri Tercinta.

Itulah pendapatku. Bagaimana menurutmu???

Baca juga yang lain



0 komentar:

Posting Komentar

Hai Sobat, Jangan Lupa komentar yah.