Pages

Subscribe:

Minggu, 04 September 2011

Seandainya Aku Punya Sayap Aku Tidak Akan Terbang Meninggalkan Dunia ini: (DOA dengan Kitab Suci)

Share
SEANDAINYA AKU PUNYA SAYAP AKU TIDAK AKAN TERBANG MENINGGALKAN DUNIA INI:
(Peziarahan Spiritual dengan menggunakan salah satu bentuk ragam doa dengan Kitab Suci)
Judul Postingan kali ini sudah sangat Familiar di telinga kita. Banyak sekali kata-kata harapan/motivasi, buku, film, sampai lagu yang menggunakan Tema ini. Mulai dari Ambon, Maluku sampai Ke berbagai penjuru dunia semuanya sudah mengenal andaian “seandainya aku punya sayap”. Bahkan ada legenda yang menarik tentang Ikaros dan Diadalos tentang tema tersebut. Tapi saya punya cerita lain, yang menarik tentang tema ini.
Pagi ini saya melihat seekor Kupu-kupu yang sangat unik hinggap di tembok dalam kamar kost saya. Ukurannya tidak terlalu besar. Warnanya kuning tapi tidak terlalu mencolok. Ia (Kupu-kupu) tidak seperti kupu-kupu biasanya. Bentuknya memang sama, tapi kupu-kupu ini mempunyai warna sayap yang berbeda dengan kupu-kupu lainnya. Hanya 10 persen sayapnya yang memiliki warna kuning, bagian yang lain transparan. Entah itu jenis yang baru, atau kupu-kupu aneh, tapi itulah pertama kali saya melihat kupu-kupu tersebut. Keindahannya ingin membuat saya memiliki Kupu-kupu tersebut, tapi itu tidak mungkin karena ia akan mati.
Keindahan sayap Kupu-kupu tersebut mengingatkan saya akan arti sebenarnya blog ini dibuat. Yaitu mengenai “Jurnal” dan “Refleksi”, tentunya dibawah “Hening”, mengapa? Karena saya selalu berusaha mempertahankan tulisan-tulisan saya untuk benar-benar menjadi tulisan yang reflektif, bukan hanya bersifat Informatif. Dan saya ingin selalu menyajikan tulisan yang benar-benar orisinil hasil refleksi saya bukan hasil Plagiatisasi.
Keindahan sayap kupu-kupu tersebut mengingatkan saya juga akan beberapa bulan yang lalu, saat-saat di mana mengikuti sebuah Pelatihan Spiritual yang sangat bermanfaat (Klik di sini untuk melihat Pelatihan Spiritual ). Saat itu kami sama-sama mencoba untuk berdoa dengan salah satu metode yaitu Berdoa dengan Kitab Suci (Lectio Divina). Walau memang masih banyak disiplin yang lain, namun menurut saya inilah salah satu metode yang sangat saya senangi saat itu.
Berdoa Lectio Divina tersebut memiliki langkah-langkah secara singkat sebagai berikut yaitu Lectio (Bacaan), Meditatio (Meditasi/Perenungan), Oratio (Doa), Contemplatio (Kontemplasi). Karena ini adalah suatu pelatihan maka setiap kali menggunakan satu metode, kami diminta untuk sharing apa yang kami lakukan tadi berdasarkan langkah-langkah tersebut. Pada saat itu ada beberapa dosen yang membagikan pengalamannya, namun saya tidak berani, mengapa? Karena saya membayangkan kalimat pada bagian bacaan (Lectio) yang sangat aneh dan memang aneh.
Pada Langkah pertama, Kami diarahkan untuk membaca (secara berulang) Mazmur 139:1-24, dan menemukan kata atau kalimat yang sangat mempesona. Saya langsung menyukai dua ayat yang sangat mempesona yaitu: ayat 9&10 (TB.LAI.: ayat 9&10:”Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.”)
Setelah selesai dengan Langkah pertama, maka kita memasuki langkah kedua yaitu Meditatio, tentunya dengan mata yang tertutup, untuk membantu membangun konsentrasi yang baik. Dalam posisi mata yang tertutup, kami semua diarahkan untuk merenungkan kata atau frase bahkan kalimat yang menyentuh, sampai meliputi memori, pengalaman, pemikiran, perasaan maupun harapan. Saat itulah saya malah merenung dan berimajinasi dengan kata frase yang menarik yaitu “Terbang” dan “Sayap”. Tentunya dengan mengingat masa lalu yang membuat saya memilih frase tersebut.
Saya ingin menceritakannya walau hanya sedikit. Waktu Konflik Berdarah di Kota Ambon (tahun 1999), keluarga kami harus mengungsi ke Saparua, tepatnya di Negeri Porto (yang kemudian juga berkonflik dengan negeri tetangganya). Rumah kami hancur, kami kehilangan segalanya. Ketika sampai di Saparua, ternyata di sana pun di guncang oleh hal yang sama, semuanya menjadi kacau balau dengan Konflik yang berujung pada masalah Agama. Pada saat itu, kebanyakan orang memilih tinggal di hutan-hutan, daripada di Negeri mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan keluarga kami, yang lebih mengutamakan keselamatan, jadi, lebih memilih mengungsi di hutan dengan rumah-rumah darurat. Kini kami mempunyai dua Rumah, satu di Hutan, satu di Negeri. Kadang-kadang tidur di Hutan, kadang di Negeri. Sehingga kami harus sering bolak-balik Hutan-Negeri.
Karena waktu itu saya masih berumuran 9 tahun, maka pekerjaan Bolak-balik Hutan adalah pekerjaan yang sangat menakutkan. Saya takut berjalan di Hutan sendiri, seakan-akan orang sedang mengikuti. Namun, dalam perjalanan ke tempat mengungsi di Hutan tersebut, ada pemandangan yang indah (mengingat tempat mengungsi tersebut di Pegunungan yang cukup tinggi) yaitu pemandangan Negeri Porto dan Haria dari Gunung tersebut, terlihat jelas bagiamana perumahan, lautan yang luas, gunung-gunung, selat maupun tanjung yang indah, itulah pemandangan yang sangat indah, saya sering duduk (sendirian) seketika untuk menikmati pemandangan tersebut. Waktu itu masih jelas dipikiran saya untuk dapat terbang bagaikan burung atau apapun agar dapat melihat keindahan itu. Saya juga ingin punya sayap agar bisa terbang dan tidak usah berjalan melewati pepohonan yang begitu menakutkan, dan tidak usah bersusah payah mendaki gunung. Tapi harapan saya adalah mempunyai sayap untuk melihat keindahan alam saat itu.

Itulah yang saya renungkan di Langkah yang kedua. Kejadian ketika 11 Tahun yang lalu yang sangat berbekas. Sekarang saya bukan 9 tahun lagi, tapi tentunya keinginan 9 tahun yang lalu masih tetap sama.
Saat memasuki Langkah ketiga yaitu Oratio (Doa), adalah langkah yang sangat sulit. Langkah ini setidaknya kita bisa berseru kepada Tuhan melalui Doa syukur maupun permohonan dengan membawakan apa yang ditemukan dalam meditasi. Sayangnya, yang saya temukan adalah kenyataan bahwa saya tidak bisa terbang, dan saya adalah manusia, bukan burung, kupu-kupu dan sebagainya. Tidak mungkin saya berseru kepada Tuhan bahwa saya ingin menjadi Burung, dsb. Saya juga bertanya, jika memang saya mempunyai sayap? Untuk apa saya terbang? Kalau hanya melihat keindahan? (lewat Pesawat atau apapun khan bisa!). Saya menantang diri sendiri untuk coba untuk merefleksikan pertanyaan tersebut.
Mungkin, saya ingin terbang karena saya Jenuh, jenuh terhadap sandiwara dunia, saya jenuh terhadap sikap munafik para pemimpin, saya jenuh terhadap segala sesuatu. Saya memang ingin pergi memisahkan diri dari keramaian dunia dengan membangun kediaman di Ujung Laut. Saya bukan saja jenuh, tapi joga bosan. Bosan dengan tidak adanya perubahan. Saya pokoknya jenuh bercampur bosan dan ingin terbang dan menjadi penonton dari atas saja. Itulah andaian saya di umur saya 20 tahun ini, sudah sangat berbeda dengan saat saya berumur 9 tahun.
Saat tiba di Langkah yang keempat, saya terdiam, dan berada dihadapan Tuhan, Hening dan berada di Hadirat Tuhan sebagaimana aku ada. Ya, saya tak banyak berpikir, hampir semua pikiran saya kosong, hanya berada di Hadirat Tuhan, Saya tak berbicara apapun di hadapannya.
Saya hanya terdiam,,,,, ketika dengan perlahan kami diinformasikan bahwa sedikit lagi baru selesai, saya juga masih belum memikirkan apapun. Setelah beberapa menit, saya mengatakan pada Tuhan:


“Tuhan, jika saya mempunyai sayap, saya tidak akan terbang meninggalkan dunia ini, dunia ini adalah kediaman di ujung laut yang indah, akan kugunakan sayap untuk membantu orang mempercepat menghadirkan keadilan.
Tapi mungkin hal pertama yang akan saya lakukan adalah melihat keindahan suatu tempat yang ku ingin saat 11 tahun yang lalu.
Peganglah tanganku Tuhan, agar saat belajar terbang nanti, saya tidak jatuh.. karena Engkau menggendongku.”

Baca juga yang lain



0 komentar:

Posting Komentar

Hai Sobat, Jangan Lupa komentar yah.